Ilustrasi : deriaislah.blogspot.com |
Sesungguhnya Islam tidaklah sesempit yang digambarkan banyak orang di mana Islam hanya dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah-ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Islam adalah sebuah sistem hidup yang sebenarnya mengajarkan banyak hal kepada pemeluknya. Jika mau menggali kandungan Islam, kita akan menjumpai bertaburnya ajaran yang (salah satunya) menyinggung tentang adab, seperti adab terhadap orangtua, anak, saudara, tetangga, masyarakat, hingga pemerintah. Demikian juga adab bertamu, berbeda pendapat, makan maupun minum, dan sebagainya. Saking lengkapnya, Islam pun mengajarkan tentang adab bersin, menguap, hingga buang hajat.
Demikian lengkap dan sempurna, hanya sayangnya kebanyakan kaum muslimin justru mengabaikannya. Di samping dikarenakan awam, sebagian kita merasa cukup jika ia telah menunaikan shalat, berpuasa Ramadhan, zakat, atau (jika mampu) berhaji. Padahal semestinya jika ibadah-ibadah tersebut dikerjakan dengan baik, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah n, dapat membuahkan akhlak yang baik bagi pelakunya. Maka lebih-lebih jika kandungan Islam lainnya dipraktikkan dengan dilandasi akidah yang benar, niscaya kemaslahatan dalam berkeluarga dan bermasyarakat akan terwujud.
Tidak akan kita jumpai tetangga yang saling mengganggu baik dengan lisan maupun tindakannya. Tidak ada anak yang membangkang terhadap orangtuanya. Tidak perlu pula ada pertumpahan darah hanya karena berebut warisan. Intinya, tidak akan kita jumpai kezaliman antar sesama anak manusia karena segalanya diliputi kesejukan dan kedamaian.
Sudah semestinya, jika kita dikaruniai hidayah bisa mengenal Islam secara benar dengan dalil-dalilnya, berupaya memelopori sekaligus mendakwahkan penerapan adab-adab Islam di tengah masyarakat. Meski perlu dicatat, kita dihadapkan pada masyarakat awam yang heterogen yang tentu saja pemahamannya masih karut marut. Ada yang fanatik ormas, fanatik mazhab, fanatik partai, kultus serta taklid buta dengan individu tertentu, dsb. Ada yang menganggap kesyirikan sebagai wasilah (sarana) mendekatkan diri kepada Allah l. Ada pula yang tidak paham sunnah bahkan sampai pada taraf mencelanya, dan sebagainya.
Oleh karena itu mendakwahi masyarakat umum jelas dibutuhkan sikap bijak. Bergelutnya mereka dengan syirik, bid’ah, maupun maksiat, tidak lantas disikapi secara sama rata. Mengenalkan al-haq (sesuai kemampuan) kepada mereka menjadi tahapan yang harus dikedepankan. Bukan belum-belum sudah menjaga jarak serta dengan mudahnya memvonis orang lain sebagai “ahlul maksiat” sehingga itu dijadikan dalil untuk menjauhi bahkan memusuhi mereka. Padahal bisa jadi orang yang dimaksud tak pernah mengerti halal-haram, sekadar ikut-ikutan dengan tradisi yang telah berkembang di masyarakat, bahkan ada yang sangat asing dengan ajaran-ajaran Islam.
Semestinya kita menyuburkan sikap empati dengan sejenak menengok ke belakang saat kita belum mengenal dakwah, belum mengenal mana tauhid dan mana syirik, mana halal mana haram, serta mana sunnah dan mana bid’ah. Masa-masa itulah yang tengah dihadapi masyarakat umumnya. Lebih-lebih kita sadar bahwa pada dasarnya syariat itu berat dibandingkan hawa nafsu. Sehingga itu menjadi pelecut semangat kita untuk tidak surut dalam mendakwahi masyarakat awam, tentunya dengan tetap menaati rambu-rambu syariat. Jangan sampai sikap yang tidak pada tempatnya justru membuat masyarakat lari. Kita tanamkan di benak kaum muslimin, Islam tidaklah seram, tidak kaku, ….karena Islam itu indah!
Tidak akan kita jumpai tetangga yang saling mengganggu baik dengan lisan maupun tindakannya. Tidak ada anak yang membangkang terhadap orangtuanya. Tidak perlu pula ada pertumpahan darah hanya karena berebut warisan. Intinya, tidak akan kita jumpai kezaliman antar sesama anak manusia karena segalanya diliputi kesejukan dan kedamaian.
Sudah semestinya, jika kita dikaruniai hidayah bisa mengenal Islam secara benar dengan dalil-dalilnya, berupaya memelopori sekaligus mendakwahkan penerapan adab-adab Islam di tengah masyarakat. Meski perlu dicatat, kita dihadapkan pada masyarakat awam yang heterogen yang tentu saja pemahamannya masih karut marut. Ada yang fanatik ormas, fanatik mazhab, fanatik partai, kultus serta taklid buta dengan individu tertentu, dsb. Ada yang menganggap kesyirikan sebagai wasilah (sarana) mendekatkan diri kepada Allah l. Ada pula yang tidak paham sunnah bahkan sampai pada taraf mencelanya, dan sebagainya.
Oleh karena itu mendakwahi masyarakat umum jelas dibutuhkan sikap bijak. Bergelutnya mereka dengan syirik, bid’ah, maupun maksiat, tidak lantas disikapi secara sama rata. Mengenalkan al-haq (sesuai kemampuan) kepada mereka menjadi tahapan yang harus dikedepankan. Bukan belum-belum sudah menjaga jarak serta dengan mudahnya memvonis orang lain sebagai “ahlul maksiat” sehingga itu dijadikan dalil untuk menjauhi bahkan memusuhi mereka. Padahal bisa jadi orang yang dimaksud tak pernah mengerti halal-haram, sekadar ikut-ikutan dengan tradisi yang telah berkembang di masyarakat, bahkan ada yang sangat asing dengan ajaran-ajaran Islam.
Semestinya kita menyuburkan sikap empati dengan sejenak menengok ke belakang saat kita belum mengenal dakwah, belum mengenal mana tauhid dan mana syirik, mana halal mana haram, serta mana sunnah dan mana bid’ah. Masa-masa itulah yang tengah dihadapi masyarakat umumnya. Lebih-lebih kita sadar bahwa pada dasarnya syariat itu berat dibandingkan hawa nafsu. Sehingga itu menjadi pelecut semangat kita untuk tidak surut dalam mendakwahi masyarakat awam, tentunya dengan tetap menaati rambu-rambu syariat. Jangan sampai sikap yang tidak pada tempatnya justru membuat masyarakat lari. Kita tanamkan di benak kaum muslimin, Islam tidaklah seram, tidak kaku, ….karena Islam itu indah!
0 Post a Comment:
إرسال تعليق