Taenia saginata dengan hospes perantaranya sapi dan Taenia solium dengan hospes perantaranya babi, merupakan 2 jenis cacing pita yang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan penyakit zoonosis parasitik yang disebut taeniasis (Bakta, 1996 :520)
Infeksi kedua cacing pita tersebut pada manusia sebagai hospes definitif terjadi saat parasit tersebut berada dalam bentuk larva yang lazim disebut sistierkus. Jika manusia makan daging sapi atau babi yang dimasak tidak sempurna dan mengandung sistiserkus bovis atau sistiserkus sellulose, maka dalam usus manusia sistiserkus ini akan menjadi cacing pita saginata atau solium. Manusia yang mendapatkan infeksi cacing pita akan mengeluarkan telur dan telur tersebut akan menginfeksi hospes perantara (Koesharjono;dkk., 1987 :23)
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala saluran pencernaan yang lebih ringan.
Kasus taeniasis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi Taenia saginata pertama kali dilaporkan di malang oleh Luchmant pada tahun 1867 dan infeksi Taenia solium dilaporkan pertama kali di Kalimantan Barat oleh Bonne pada tahun 1940. Di Indonesia taeniasis dilaporkan terdapat di daerah Bali (0,4- 7,1 %), Nusa Tenggara Timur (7%), Irian jaya (8%), dan lokasi transmigrasi asal Bali seperti di Sulawesi Tenggara dan Lampung (Bakta, 1996 :521)
Biasanya tidak disadari bahwa manusia dapat menjadi induk semang cacing pita, tetapi pada pertengahan abad 19, ketika cacing pita ini menyebar, sistiserkusnya ditemukan pada 2 % manusia yang diotopsi di Berlin. Tetapi sekarang, sejak tinja manusia dibuang lebih efisien, kejadian sistiserkus pada manusia banyak menurun sedemikian banyak sehingga secara praktis dapat diabaikan. Kenyataannya C. cellulosae jarang pada babi di AS.
Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh stadium larva Taenia solium (cacing pita babi), sedangkan taeniasis solium disebabkan cacing dewasa yang hidup di dalam rongga usus halus manusia. Penyakit ini sampai sekarang terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Sumatera Utara dan Papua. Prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%
Dari beberapa kasus taeniasis solium yang telah diteliti maka dilaporkan bahwa kasus kasus tersebut dikarenakan masuknya babi yang dibawa oleh penduduk yang dibawa pada saat pindah ke daerah tersebut atau oleh penderita langsung yang bertransmigrasi ke daerah- daerah tersebut (Rasidi; dkk., 1990 : 379)
Di Bali kehadiran taeniasis solium pada penduduknya telah dikenal sejak lama yaitu dengan istilah penyakit beberasan. Berbeda dengan daerah Indonesia lainnya, hampir seluruh penduduk bali memeluk agama Hindu yang dalam upacara adat dan keagamaan atau dalam kehidupan sehari-hari penduduk mempunyai keniasaan makan -makanan tradisional yang disebut lawar, yang terbuat dari daging babi mentah atau setengah matang yang diduga menyebabkan taeniasis solium (Arwati ; Supari, 1977 : 1; sutisna : 227)
Selain itu kemungkinan masih adanya penduduk, terutama di desa yang buang air besar tidak di jamban atau di kakus melainkan di sungai atau di teba (halaman rumah) sehingga tinja manusia dimakan oleh babi dan dapat mencemari pakan babi. Semuanya ini dapat memberi kesempatan daur hidup taenia- sistiserkus berlangsung tanpa hambatan. Keadaan- keadaan inilah yang mungkin masih ada dan berjalan di Bali sehingga menimbulkan kejadian- kejadian taeniasis (Waruju, 1988 : 19)
B. Pembatasan masalah
Makalah ini dibuat hanya dilakukan terhadap bagaimana pengendalian dan upaya pencegahan Penyakit Taeniasis dan sistiserkosis Taenia soliumdengan metode pustaka.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana cara pengendalian dan upaya pencegahan penyakit taeniasis dan sistiserkosis Taenia soliumpada penduduk pemakan daging babi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Gambaran Taenia solium
1. Sejarah
Cacing pita terdapat pada daging babi diketahui sejak zaman Hippocrates atau mungkin sudah sejak zaman para Nabi walaupun pada waktu itu belum dapat dibedakan antara cacing pita daging sapi dengan cacing pita daging babi sampai pada karya Geoze (1782)Aristophane dan Aristoteles melukiskan stadium larva atau sistiserkus sellulose pada lidah babi hutan. Gessner (1558) dan Kumier (1855) melaporkan stadium larva pada mannusia . Kuchen meister (1855) dan Leukart (1856) adalah sarjana – sarjana yang pertama kali mengadakan penelitian daur hidup cacing tersebut dan membuktikan bahwa cacing gelembung yang didapatkan pada daging babi adalah stadium larva cacing Taenia solium.
Infeksi ini ternyata sudah dikenal sejak zaman Masehi, sedang siklus hidupnya digambarkan pada pertengahan tahun 1850 (Beaver dkk, 1984) . Cacing pita ini ditemukan diberbagai tempat di dunia dan diperkirakan merupakan parasit manusia yang penting terutama dimana daging babi mentah atau setengah matang dimakan
Infeksi sistiserkosis dengan (larva) Taenia solium relatif umum di tempat-tempat tertentu di dunia , tetapi jarang di Amerika Serikat (jung dkk, 1981; Keane 1980) . Bentuk infeksi ekstraintestinal tersebut lebih serius daripada terdapatnya cacing dewasa di dalam usus.
Taenia saginata sudah dapat dibedakan dengan Taenia solium pada akhir tahun 1700-an tetapi sapi tidak dikenal sebagai hospes perantaranya sampai tahun 1863 (Leukart, 1863). Infeksi ini distribusinya kosmopolit dan umumnya lebih sering terjadi dari pada Taenia solium terutama di amerika Serikat (tabel 13.1). Secara umum, pengaruh pada kesehatan manusia lebih ringan dibanding dengan Taenia solium karena sistiserkosis dengan Taenia saginatajarang sekali terjadi.
2. Klasifikasi
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidae
Famili : Taniidae
Genus : Taenia
Spesies : Taenia solium
Cestoda, atau cacing pita, merupakan subfilum lain di dalam filum Platyhelminthes. Mereka tidak mempunyai rongga badan dan semua organ – organ tersimpan di dalam jaringan parenkim. Semua cacing pita bersifat parasit, dan telah bermodifikasi secara besar-besaran untuk eksistensi parasit tersebut.
Taenia solium adalah salah satu jenis cacing pita yang berparasit di dalam usus halus manusia. Dalam klasifikisai taksonomi cacing ini termasuk kelas Eucestoda, ordo Taenidae, dan genus Taenia. Tergolong dalam satu jenis genus dengan Taenia solium adalah Taenia saginata dan Taenia asiatica yang juga bersifat zoonosis (Rajshekkhar et al.2003)
3. Hospes dan Nama penyakit
Hospes definitif cacing Taenia solium adalah manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah manusia dan babi . Manusia yang dihinggapai cacing Dewasa Taenia solium juga menjadi hospes perantara cacing ini.
Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing Taenia solium adalah taeniasis dan sistiserkosis. Taeniasis adalah penyakit akibat parasit berupa cacing yang tergolong dalam genus taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun sebaliknya. Sistiserkosis ialah infeksi jaringan oleh bentuk larva Taenia solium(sistiserkus sellulosa) pada manusia akibat termakan telur cacing Taenia solium pada daging babi. Sedangkan istilah Neurosistiserkosis digunakan untuk infeksi oleh larva yang mengenai sistem saraf pusat (SSP).
Cacing pita babi diberi nama khusus solium karena biasanya hanya ditemukan cacing pita tunggal pada satu induk semang. Sistiserkusnya dikenal sebagai Cysticercus cellulosae, ditemukan pada urat daging babi, anjing dan kadang – kadang manusia. Kemungkinan sistiserkus tersebut sebesar 20 x 10 mm, tetapi biasanya jauh lebih kecil. Sistiserkus ini menyebabkan suatu kondisi yang dikenal sebagai bintil daging.
4. Morfologi
Taenia solium merupakan Cacing pita babi pada manusia. Cacing dewasa terdapat pada usus halus mannusia, dan dapat mencapai 2 sampai 7 m dan dapat bertahan hidup selama 25 tahun atau lebih. Organ pelekat atau skoleks, mempunyai empat batil isap yang besar serta rostelum yang bundar dengan dua baris kait berjumlah 22-32 kait. Kait besar (dalam satu baris) mempunyai panjang 140 – 180 mikron dan bagian yang kecil (dalam baris yang lain) panjangnya 110-140 mikron. Bagian lehernya pendek dan kira – kira setengah dari lebar skoleks. Jumlah keseluruhan dari proglotid kurang dari 1000, proglotid imatur bentuknya lebih melebar daripada memanjang, yang matur berbentuk mirip segi empat dengan lubang kelamin terletak di bagian lateral secara berselang seling di bagian kiri dan kanan proglotid berikutnya, sedang segmen gravid bentuknya lebih memanjang daripada melebar. Proglotid gravid panjangnya 10-12 x 5-6 mm, dan uterus mempunyai cabang pada masing – masing sisi sebanyak 7 – 12 pasang. Segmen yang gravid biasanya dilepas secara berkelompok 5-6 segmen tetapi tidak aktif keluar dari anus. Proglotid gravid dapat mengeluarkan telur 30.000 – 50.000 butir telur. Telurnya berbentuk bulat atau sedikit oval (31 -43 mikro meter),mempunyai dinding yang tebal, bergaris garis, dan berisi embrio heksakan berkait enam atau onkosfer. Telur – telur ini dapat tetap bertahan hidup di dalam tanah untuk berminggu –minggu.
5. Siklus hidup
Taenia solium yang berparasit di bagian proksimal jejunum dapat bertahan hidup selama 25 sampai 30 tahun dalam usus halus manusia (Soulsby 1982; Chin dan Kandun 2000). Cacing ini mendapatkan nutrisinya dengan menyerap isi usus. Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam tinja penderita taeniasis antara 8 -12 minggu setelah orang yang bersangkutan terinfeksi (Chin dan Kandun 2000) Sewaktu - waktu proglotida gravid berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok – kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Prolotida gravid keluar bersama tinja penderita. Telur dapat pula keluar dari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh telur akan menyebar ke tanah lingkungan sekitar dimana telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan (IIsoe et al.2000)
Infeksi akan terjadi apabila telur berembrio tertelan oleh babi yang merupakan induk semang antara Taenia solium. Di dalam luimen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfer). Selanjutnya onkosfer tersebut menembus dinding usus, masuk ke pembuluh limfe atau aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akhirnya mencapai organ – organ yang disukai (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah , otot daerah pipi, otot antar tulang rusuk, otot paha, paru-paru,ginjal,hati. Kista mudah terlihat pada tempat predileksi tadi antara 6 hingga 12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan Cysticercus Cellulosae. Bila daging babi yang mengandung parasit ini dimkan oleh manusia, kista akan tercerna oleh enzim pencernaan sehingga calon skoleks (protoskoleks) akan menonjol keluar. Selanjutnya protoskoleks tersebut akan menempel pada mukosa jejunum dan tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu bebrapa bulan (Soulsby; 1982)
Cysticercus cellulosae juga dapat dijumpai pada manusia, yaitu di jaringan sub kutan, mata, jantung dan otak (Ahuja et al.1978). Kejadian ini disebabkan tertelannya makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh telur parasit tersebut . Sumber kontaminasi parasit ini berupa tinja manusia yang mengandung parasit, tangan manusia yang kotor penderita Taeniasis, dan dapat juga akibat autoinfeksi intern karena munthan telur ke dalam lambung, akibat adanya anti peristaltik(Cheng 1986; Bakta 1987 diacu dalam Dharmawan 1990)
6. Cara Penularan
Cysticercus cellulosa yang terdapat dalam daging babi yang mentah atau tidak dimasak kurang sempurna , termakan oleh manusia dan akan menimbulkan penyakit Taeniasis. Bila menelan telur Taenia sp atau proglotid gravid yang terdapat pada makanan atau minuman yang terkontaminasi akan teradi Cysticercosis. Infeksi terhadap dirinya sendiri yang berasal dari keberadaan cacing dewasanya di dalam usus dan mungkin terjadi autoinfeksi internal dimana telurnya akan bercampur dengan asam lambung sehingga menetas dan larvanya masuk kedalam jaringan.
7. Gejala Klinik
Ø Taeniasis
Cacing dewasa yang biasanya berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti kecuali iritasi ringan pada tempat perlekatan atau gejala gejala abdominal yang tersamar. Bila ada dapat berupa nyeri ulu hati ,mencret,mual, obstipasi dan sakit kepala. Dapat dijumpai eosinofilia ringan, biasanya dibawah 15 %. (Gandahusada et al 2000)
Kondisi acut dan komplikasi dapat terjadi jika ada migrasi cacing dewasa pada tempat yang tidak umum misalnya, appendix, pankreas dan saluran empedu. Secara psikiologis penderita dapat merasa cemas karena adanya segmen atau proglotid pada tinja. Penderita akan merasa gatal sekitar anus dan dapat menemukan segmen pada pakaian dalam (celana) atau tempat tidur. Segmen ini mempunyai istilah yang berbeda- beda pada setiap daerah, misalnya di Bali dikenal dengan istilah ampas nangka, di Toraja dengan istilah banasan dan di Sumatera Utara dengan istilah manisan (Sutisna, 19998 : 158 : Ditjen P2M & PLP, 1986 : 6)
Ø Cystiserkosis
Sistiserkosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh manusia. Manusia dapat terjangkit satu atau sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda – beda. Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis) mata,otot, dan lapisan bawah kulit.
Gejala klinis biasanya ditemukan pada penderita sistiserkosis. Gejala tersebut biasanya muncul beberapa minggu sampai dengan 10 tahun atau lebih setelah seseorang terinfeksi (Chin dan Khadun 2000;Gandahusada et al.2000). Pada manusia, sistiserkus sering ditemukan pada jaringan subkutis, mata, jaringan otak, otot jantung, hati, paru, dan rongga perut. Klasifikasi (perkapuran) yang sering dijumpai pada sistiserkus biasanya tidak menimbulkan gejala,namun sewaktu – waktu dapat menyebabkan pseoduhipertrofi otot, disertai gejala miositis, demam tinggi dan eosinofilia (Gandahusada et al.2000) . Pada jaringan otak atau medulla spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningo –ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang –kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus Internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak , dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al.2000)
8. Diagnosis
· Taeniasis
Dapat ditegakkan dengan 2 cara :
1. Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)
Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan
2. Pemeriksaan Tinja
Tinja yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaan segar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10% atau spirtus sebagai pengawet.
Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol. Dari satu spesimen tinja dapat digunakan menjadi empat sediaan. Bilamana ditemukan telur cacing Taenia sp, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis. Pada pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat ditemukan proglotid.
Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif).
· Sistiserkosis
Diagnosa sistiserkosis biasanya tergantung pada pembedahan untuk mengeluarkan parasitnya dan pemeriksaan mikroskopik atas adanya batil isap dan kait pada skoleks. Seringkali terdapat larva multipel dan adanya sistiserkus dalam jaringan subkutan atau otot menunjukkan bahwa otak mungkin juga terkena. Larva yang mengalami perkapuran dapat langsung terlihat pada sinar-X . CT Scan dapat memperlihatkan adanya lesi dalam otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam otak. Apabila bentuk rasemosa ada dalam otak, CT scan tidak dapat membedakan lesi dengan tumor – tumor yang disebabkan oleh penyebab lainnya. Sistiserkosis mata biasanya dapat didiagnosis melalui identifikasi visual dari gerakan dan morfologi dari larvanya. Meskipun test serologis dapat membanbtu pada beberapa kasus, dapat dijumpai reaksi silang di antara sistiserkosis dan infeksi hidatid (Schantz dkk, 1980)
Dinyatakan tersangka sistiserkosis apabila pada :
a) Anamnesis :
1. Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
2. Gejala Taeniasis
3. Riwayat mengeluarkan proglotid
4. Benjolan (“nodul subkutan”) pada salah satu atau lebih bagian tubuh
5. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
6. Riwayat / gejala epilepsi
7. Gejala peninggian tekanan intra kranial
8. Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan fisik :
1. Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
2. Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
c) Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid
2. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp
3. Pemeriksaan serologis : sistiserkosis
4. Pemeriksaan biopsi pada nodul subkutan gambaran menunjukkan patologi anatomi yang khas untuk sistiserkosis
· Neurosistiserkosis
Dinyatakan adanya tersangka neurosistiserkosis apabila :
a) Anamnesis :
1. Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis
2. Gejala Taeniasis
3. Riwayat mengeluarkan proglotid
4. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya
5. Riwayat / gejala epilepsi
6. Gejala peninggian tekanan intra kranial
7. Gejala neurologis lainnya
b) Pemeriksaan fisik :
1. Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih
2. Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis
3. Kelainan neurologis
4. Pemeriksaan penunjang
5. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid (+)
6. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp (+)
7. Pemeriksaan darah tepi : Hb, Leukosit (Leukositosis), Eritrosit, hitung jenis (eosinofilia), LED (meningkat dan gula darah)
8. Pungsi Lumbal sel (eosinofil meningkat 70 %),protein (meningkat 100%), glukosa (menurun 70 % dibandingkan dengan glukosa darah) NaCl.
9. Pemeriksaan serologis (ELISA dan immunoblot): sistiserkosis (+) spesimen yang diperiksa berupa cairan otak (LCS) kurang lebih 2-3 cc. Tempat pemeriksaan di laboratorium yang telah ditentukan. Pengiriman spesimen cairan otak dengan tabung / botol steril dan es batu (1 derajat C) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi) dan lebih baik lagi pemeriksaan CT- Scan (Computerized Tomography Scanning) atau MRI.
9. Distribusi Geografis
Penyebaran Taenia solium bersifat kosmopolit,terutama di negara – negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di negara Islam yang melarang pemeliharaan dan mengkonsumsi babi. Kasus taeniasis atau sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Irian Jaya, Bali, dan Sumatera Utara. Infeksi penyakit ini juga sering dialami oleh para transmigran yang berasal dari daerah – daerah tersebut (Gandahusada et al.2000)
Penyakit yang disebabkan cacing pita ini, sering dijumpai di daerah dimana orang – orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Disamping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara – negara skandinavia. Penularan oral vekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik.
10. Pengendalian dan Upaya Pencegahan
Pengendalian cacing pita Taenia dapat dilakukan dengan memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit dapat dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang terinfeksi. Beberapa obat cacing yang dapat digunakan yaitu : Atabrin, Librax dan niklosamida dan Prazikuantel. Sedangkan untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan Albendazola dan dexametason. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia, diperlukan peningkatan daya tahan tubuh inang. Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama pada babi didaerah endemik Taeniasis dan cysticercosisserta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia.
Lingkungan yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup Taenia, karena lingkungan yang kotor dapat menyebabkan menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam feces ke lingkungan menjadi sumber penyebaran taeniasis ,sistiserkosis. Faktor fresiko utama transmisi telur Taenia ke babi yaitu pemeliharaan babi secara ekstensif, defikasi manusia didekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan feces manusia dan pemeliharaan babi dekat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada taenia ke sapi. Telur cacing ini dapat terbawa oleh air ke tempat – tempat lembab sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas.
Kontrol penyakit akibat Taenia dilingkungan dapat dilakukan melalui peningkatan sarana sanitasi dan pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi, pencegahan kontaminasi tanah dan tinja pada makanan dan minuman. Pembangunan sarana sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih sangat diperlukan. Pencegahan konsumsi daging yang terkontaminasi dapat dilakukan melalui pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter Hewan.
Pencegahan Taeniasis yang utama adalah menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, salah satunya dengan menyediakan jamban keluarga. Penyediaan jamban keluarga bertujuan untuk mencegah agar tinja manusia tidak dimakan oleh babi dan tidak mencemari tanah / rumput peternak. Pemelihara sapi atau babi juga harus dijaga agar hewan peliharaannya tidak berkeliaran sehingga tidak mencemari lingkungan.
Pemeriksaan daging oleh dokter hewan pun harus dilakukan sehingga masyarakat tidak mengkonsumsi daging yang mengandung kista selain itu perlu dilakukan penyuluhan mengenai bahaya mengkonsumsi daging yang mengandung kista, oleh karena itu masyarakat juga harus mengetahui bentuk kista dalam daging. Hal tersebut penting dilakukan di daerah yang banyak memotong babi untuk upacara adat seperti di Sumatera Utara, Bali, dan Irian Jaya.
Di beberapa daerah di tanah air yang memiliki kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentahpun perlu dilakukan penyuluhan untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Masyarakat perlu diberi pemahaman tentang resiko yang akan diperoleh apabila memakan daging mentah / setengah matang. Penting pula bagi masyarakat untuk mengetahui manfaat memasak daging sampai matang (> 57o C dalam waktu cukup lama) atau membekukan (< 10o C selama 5 hari). Pendekatan tersebut biasanya tidak selalu dapat diterima oleh masyarakat setempat karena keputusan akhir yang diambil harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan (Primz sumber www.depkes.org.maret 2007).
TIPS penanganan daging yang higienis :
· Sesegera mungkin daging yang telah dibeli diolah/ dimasak
· Bila akan dimasak lebih dari 4 jam dianjurkan disimpan pada suhu dingin (di bawah 4oC)
· Bila akan disimpan beku, dianjurkan daging dipotong – potong terlebih dahulu sesuai kebutuhan, lalu dimasukkan kedalam kemasan atau wadah tertutup yang bersih kemudian disimpan pada suhu dibawah -18o C
· Cucilah tangan sebelum dan sesudah mengolah/ memasak daging
· Tutup luka dengan plester yang kedap air
· Hindari bersin dan batuk langsung di depan daging
· Usahakan ruang memasak daging bebas dari insekta (lalat,nyamuk,kecoa,semut) dan rodensia (tikus)
· Gunakan peralatan yang bersih untuk menyimpan, mempersiapkan, mengolah, dan memasak daging
· Cuci peralatan dengan baik setelah digunakan
(Buletin Penyakit Zoonosa : edisi keempat 2009)
11. Pengobatan
Cacing dewasa dianjurkan penggunaan praziquantel atau niklosamid (Sotelo dkk, 1985). Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi, pasien harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan.
Sistiserkosis apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah. Pada kasus sistiserkosis mata, lebih dianjurkan pengambilan kista daripada enukleasi. Untuk mencegah hilangnya bola mata, dianjurkan untuk mengambil sistiserkusnya ketika masih hidup (Junior, 1949). Beberapa obat telah dicoba dengan derajat keberhasilan yang berbeda – beda dalam memberantas sistiserkus; praziquantel, yang mungkin membutuhkan pengobatan ulang (Rim dkk, 1980; Botero dan Castano, 1981); dan metrifonat untuk sistiserkosis kutan (Tschen dkk, 1981).
Prognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.
12. Epidemiologi
Walaupun cacing ini kosmopolit. Kebiasaan hidup penduduk yang dipengaruhi tradisi kebudayaan dari agama, memainkan peranan penting. Pada orang2 yang bukan pemeluk agama islam, yang biasanya memakan daging babi jarang ditemukan.
Cara menyantap daging tersebut yaitu matang, setengah matang atau mentah dan pengertian akan kebersihan atau higiene memainkan peranan penting dari penularan cacing Taenia solium maupun sistiserkus sellulose. Pengobatan perorangan maupun masal harus dilakukan agar penderita tidak menjadi sumber infeksi bagi diri sendiri maupun ternak.
Pendidikan mengenai kesehatan harus dirintis. Cara-cara ternak babi harus diperbaiki, agar tidak kontak dengan tinja manusia. Sebaiknya untuk ternak babi harus digunakan kandang yang bersih dan makanan ternak yang sesuai.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pencegahan dan upaya pengendalian merupakan hal yang penting untuk diperhatikan guna menurunkan prevalensi penyakit Taeniasis maupun sistiserkosis. Tindakan pengendalian meliputi :
1. Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati semua penderita Taeniasis disuatu daerah
2. Meningkatkan pendidikan masyarakat dengan memberikan berbagai penyuluhan kepada masyarakat
3. Meningkatkan kebersihan Higiene, sanitasi diri dan lingkungan meliputi : Pembangunan sarana sanitasi misalnya kaskus dan septic tank serta penyediaan sumber air bersih
4. Melakukan pemusatan pemotongan ternak di rumah pemotongan hewan (RPH) yang diawasi oleh dokter Hewan
5. Memberikan pemahaman kepada Masyarakat tentang resiko yang akan diperoleh apabila memakan daging mentah / setengah matang. Dan pentingnya untuk mengetahui manfaat memasak daging hingga matang.
B. SARAN
1. Diharapkan adanya peningkatan pendidikan kesehatan masyarakat sehingga program pemberantasan penyakit cacingan dapat dilakukan dengan tuntas.
2. Diharapkan adanya peningkatan sarana sanitasi guna menunjang kehidupan yang lebih bersih dan sehat
3. Diperlukan adanya terobosan baru untuk menemukan tehnik pemeriksaan yang relatif sederhana, namun dapat memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Zaman,viqar dan Ng Mah Lee, Mary. 2008.Atlas Medical Parasitology.Yogyakarta: Graha Ilmu
Goldsmith,Robert dan Donald,Heyneman.1989.Tropical Medicine and Parasitology
Safar, Hj.Rosdiana dan Nurhayati,Nunung.2010.Parasit Kedokteran:protozologi, helmintologi, entomologi. Bandung :Yrama Widya
http://www.depkes.go.id
http://www.journal.ui.ac.id
http://www.repository.ipb.ac.id
Krisnandana,drh. 2009. Buletin penyakit Zoonosa edisi keempat. Direktorat kesehatan masyarakat Deptan RI, Jakarta.
Markell, Voge, John.1993. Medical Parasitology, 7th edition. Mexico
-. 1997. Health research with developing countries, vol 3. RTD International Cooperation
Brown, W Harold. 1982. Dasar Parasitologi Klinis.Jakarta : PT. Gramedia
Jeffrey dan Leach. 1983. Atlas helminthologi & Protozologi Kedokteran ed.2. EGC Penerbit buku kedokteran
Oleh : Griecilia ardagarini