الأحد، 20 نوفمبر 2011

Pentingnya Menuntut Ilmu Syar'i

Kenapa kita perlu berbicara tentang ilmu syar'i? Tidak diragukan lagi  bahwasanya kebangkitan Islam, dalam bentuk apapun juga, jika tidak  berdiri di atas ilmu syar'i yang benar, bersumber dari Al-Quran dan  sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar, maka akan berakibat  kehancuran dan kemusnahan. Karena tanpa ilmu syar'i perbuatan laksana  bulu diterpa angin. Terkadang digerakkan ke kanan oleh perasaan hati  yang kering dari ilmu syar'i, terkadang pula condong ke kiri oleh  semangat membabi buta. sehingga kebangkitan seperti ini berakhir dengan  keruntuhan dalam waktu yang sangat singkat. 

Berbeda dengan semua  itu, apabila seorang pemuda dibina untuk menuntut ilmu syar'i yang  sesuai dengan dalil-dalil syar'i dan fenomena Rabbani, lalu mengamalkan  isinya dan berpegang teguh dengannya, maka kebangkitan seperti ini akan  tumbuh sedikit demi sedikit. Mulai tumbuh dan berkembang hingga mencapai  masa matangnya. Setelah itu akan berbuah yang baik dan masak,  sebagaimana firman Allah 'azzawajalla:
"Dan tanah yang baik,  tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang  tidak subur, tanaman-tanamannya Hanya tumbuh merana. Demikianlah kami  mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang  bersyukur." (Al-A'raf: 58)

Adalah penting bagi kita untuk  berbicara mengenai motivasi belajar ilmu syar'i mengingat kita tengah  berada di zaman yang semangatnya sudah mati, sehingga keingainan belajar  ilmu syar'i  semakin melemah dan kemauan untuk belajar dan mengajarinya  semakin menurun.

Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir Ath-Thabrani.  Suatu saat ia pernah berkata kepada muridnya, "Apakah kalian siap untuk  menulis sejarah?" para murid bertanya, "Berapa lembar?" Ibnu Jarir  berkata, "Tiga puluh ribu lembar." Mereka berkata, "Ini suatu yang sulit  yang menghabiskan seluruh umat." Ibnu jarir berkata, "la haula wala  quwata illa billah, semangat sudah mati." (lihat Tarikh Baghdad, Khatib  Al-Baghdady, hal: 2)

Lantas apa sekiranya yang akan dikatakan  Ibnu Jarir ketika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak bisa  memaksa dirinya untuk menulis atau menghafal tiga  puluh lembar?

Pendapat Ulama Salaf Mengenai Ilmu Syar'i 

Imam  Ahmad bin Hambal berkata, "Orang-orang lebih butuh kepada ilmu melebihi  kebutuhannya akan makanan dan minuman. Yang demikian itu karena  seseorang terkadang hanya butuh kepada makan dan minum hanya sekali atau  dua kali saja. Sementara kebutuhan dia terhadap ilmu sejumlah detak  nafasnya."  (lihat Tahdzibu Madarijis Salikin, Ar-Rasyid)

Imam  Syafi'i pernah ditanya, "Bagaimana semangat anda untuk ilmu?" Beliau  menjawab, "Saya mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya  dengar, maka anggota tubuh saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk  bisa menikmati ilmu tersebut sebagaimana yang dirasakan telinga." Lalu  ditanya, "Bagaimana kerakusan anda kepada ilmu?" Beliau menjawab,  "Seperti rakusnya orang penimbun harta, yang mencari kepuasan dengan  hartanya." "Bagaimana anda mencarinya?" beliau menjawab, "Sebagaimana  seorang ibu mencari anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak  lain, selain dia." (lihat Tawaalit Ta'sis bi Manaqibi Muhammad bin  Idris, Ibnu Hajar AL-Asqalani, hlm 106)

Keutamaan Ilmu Syar'i

Ilmu  syar'i dimuliakan oleh Allah dengan beberapa kelebihan, dan dikhususkan  dengan berbagai kekhususan. Allah tidak memberikan kelebihan dan  kekhususan itu pada ibadah-ibadah lainnya. Perhatikanlah wahai saudaraku  yang tercinta, tentang kemuliaan ilmu syar'i dan keutamaannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,:

"Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga." (HR. Muslim)

Syaikh  Abdurrahman As-Sa'di ketika mengomentari hadits di atas berkata,  "Setiap jalan, baik konkret maupun abstrak yang ditempuh oleh ahlul ilmi  sehingga membantunya mendapatkan ilmu, maka ia termasuk ke dalam sabda  Nabi, "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan  memudahkan baginya jalan menuju Surga."  (lihat Kitab Fatawa  As-Sa'diyah, As-Sa'di, 1/623)

Allah memerintahkan rasul-Nya untuk berdoa dan meminta kepada-Nya agar ditambahkan ilmu yang bermanfaat. Allah berfirman,

Dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (Thaha: 114)

Allah  tidak pernah memerintahkan untuk berdoa meminta tambahan terhadap  sesuatu kecuali ilmu syar'i. Karena keutamaan, kemuliaan dan kedudukan  ilmu itu tinggi di sisi Allah.

Allah memerintahkan manusia untuk  kembali kepada orang-orang yang berilmu, bertanya kepada mereka tentang  permasalahan agama, dan menjadikan perbuatan itu sebagai kewajiban,  sebagaimana firman-Nya,

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."  (An-Nahl:43)

Selanjutnya,  karena kemuliaan ilmu, Allah membolehkan kita untuk memakan hasil  buruan anjing yang terlatih (untuk berburu) dan mengharamkan memakan  buruan anjing yang tidak terlatih. Dalil ini menunjukkan bahwa binatang  menjadi mulia karena ilmu, dan diberi kedudukan yang berbeda dengan yang  tidak berilmu. Bagaimana dengan anak Adam? Allah Berfirman,

Mereka  menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah:  "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh  binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu;  kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka  makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah  atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan bertakwalah kepada  Allah, Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (Al-Maidah: 4)

Bayangkan, seandainya tidak karena keutamaan ilmu, niscaya hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak terlatih akan sama.

Ilmu  syar'i adalah warisan Nabi. Khatib Al-Bagdadi menyebutkan seorang Arab  Badui yang melintas ketika Abdullah bin Mas'ud mengajarkan hadits kepada  para muridnya yang berkumpul di sekelingnya. Badui itu berkata, "Untuk  apa mereka berkumpul?" Ibnu Mas'ud menjawab, "Mereka bekumpul untuk  bagi-bagi warisan Nabi." (lihat Syarafu Ashabil Hadits, Khatib  Al-Baghdadi)

Hal ini sejalan dengan sabda Nabi,

"Keutamaan  orang berilmu dibanding ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan  purnama dibanding semua bintang. Sesungguhnya ulama itu pewaris Nabi.  Seorang Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ia  mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian  yang banyak." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan disahihkan Syaikh  Al-Albani dalam Shahihul Jami', No 4212)

Adalah hak Beliau untuk  dijaga warisannya dari kebinasaan dan kemusnahan. Semua ini tidak bisa  dilakukan kecuali mempelajari ilmu syar'i dan meraihnya.

Bukti  kemuliaan ilmu di sisi Allah adalah pahala mengajarkan ilmu syar'i akan  sampai kepada orang yang mengajarkannya, meskipun dia telah mati dan  berada di dalam kuburan. Seakan-akan mengalirnya pahala ilmu itu setelah  kematiannya adalah kehidupan kedua baginya. Dari Abu Hurairah,  bahwasanya rasulullah bersabda,

"Apabila anak Adam meninggal  dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah,  ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan (orang tuanya)."  (HR.Bukhari & Muslim)

[B]Hukum Menuntut Ilmu Syar'i[/B]

Tidak  semua hukum menuntut ilmu dalam setiap keadaan adalah sunnah. Yakni,  diberikan pahala bagi pelakunya dan tidak disiksa bagi yang  meninggalkannya. Ada beberapa keadaan yang menuntut ilmu menjadi sesuatu  yang wajib ‘ain bagi setiap orang, dan ia akan berdosa bila tidak  melakukannya, sebagaimana sabda Nabi, "Menuntut ilmu adalah wajib bagi  seorang muslim." (HR. Muslim)

Kewajiban dalam hal ini berbeda  pada setiap orang sesuai dengan kedudukannya. Kewajiban seorang pemimpin  mempelajari ilmu tentang  rakyatnya tidak sama dengan kewajiban seorang  suami pada keluarga dan tetangganya. Kewajiban pedagang untuk  mempelajari ilmu tentang jual beli tidak sama dengan mereka yang bukan  pedagang. Intinya adalah harus disesuaikan dengan kebutuhan  masing-masing.

Seorang muslim wajib mempelajari ilmu terhadap  sesuatu pekerjaan yang akan dilakukannya, yang mana tanpa ilmu, bisa  menghalanginya dalam melakukan sesuatu tersebut dengan benar. Misalnya,  ketika seseorang hendak mengerjakan shalat, maka ia harus mempunyai ilmu  tentang shalat, jika tidak maka ketidaktahuannya tentang shalat akan  menghalanginya untuk dapat shalat dengan cara yang benar. Apabila ia  mempunyai harta yang harus di zakatkan dan sudah terpenuhi persyaratan  wajib zakat, maka wajib baginya mengkaji hukum-hukum yang berkaitan  dengan zakat. Begitulah seterusnya dalam setiap urusan seperti juga  puasa, haji, muamalah dan lainnya.

Dalam keadaan yang lain,  menuntut ilmu bisa menjadi fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang harus  dilakukan oleh umat secara umum. Bila tidak ada yang melakukannya atau  untuk bisa mewakilinya, maka semua umat Islam akan berdosa. Dan ada  kalanya menuntut ilmu itu hanya dihukum sebagai sunnah saja.

Kriteria Ilmu Syar'i

1. Ilmu syar'i yang benar adalah ilmu yang diambil dari Al-Quran dan  As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Sholafush sholeh (generasi sahabat dan  tabi'in serta tabi' tabi'in)
2. Ilmu syar'i adalah ilmu yang  mengantarkan pemiliknya untuk taat kepada Allah, merasa diawasi  oleh-Nya, takut kepada-Nya, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang  lain. Abdullah bin Mas'ud berkata, "Bukanlah ilmu dengan banyaknya  riwayat, tetapi ilmu adalah rasa takut (kepada Allah). (lihat al-Fawaid,  Ibnu Qayyim Al-Jauziyah)
3. Ilmu syar'i yang harus kita raih  adalah ilmu yang mendorong pelakunya untuk beramal dan mempraktekkan  ilmunya, bukan sebatas pengetahuan atau penambah wawasan, atau sekedar  meraih jabatan dan ijazah. Jangan lupa bahwasanya ilmu tanpa amal  bagaikan pohon tanpa buah. Buah ilmu yang sebenarnya adalah mengamalkan  ilmu itu.  
Sumber : http://www.dareliman.or.id/

0 Post a Comment:

إرسال تعليق