Pertanyaan.
Apakah sama hukumnya antara membaca ramalan zodiak di surat kabar dengan mendatangi dukun untuk sekedar bertanya kepadanya. Jazakallah khairan.
Abdullah
08134901****
Jawaban
Yang jelas, perdukunan dan ramalan zodiak (rasi perbintangan), keduanya berkaitan dengan masalah mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib. Yang dimaksud perkara ghaib, yaitu perkara yang tidak dapat dijangkau oleh panca indera. (Lihat ‘Alamus Sihr, hlm. 263, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar). Termasuk perkara ghaib adalah apa yang akan terjadi. Sesungguhnya yang mengetahui perkara ghaib hanyalah Allah Ta’ala. Dia berfirman:
قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah." [An Naml : 65].
Kemudian Allah memberitahukan sebagian perkara ghaib lewat wahyuNya kepada rasul yang Dia kehendaki. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
عَالِمَ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا {26} إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. [Al Jin : 26,27].
Syaikh Shalih Al Fauzan menyatakan: “Maka barangsiapa mengaku tahu perkara ghaib dengan sarana apa saja –selain yang dikecualikan oleh Allah kepada para rasulNya (lewat wahyuNya)- maka dia adalah pendusta, kafir, baik lewat membaca telapak tangan, gelas, perdukunan, sihir, perbintangan (zodiak) atau lainnya.” [1]
Beliau juga berkata: “Maka barangsiapa mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib atau membenarkan orang yang mengaku-ngaku hal itu, maka dia musyrik, kafir. Karena dia mengaku-ngaku menyamai Allah dalam perkara yang termasuk kekhususan-kekhusuanNya.” [2].
Dengan demikian, perdukunan dan ramalan zodiak sama-sama haram. Kemudian perlu diketahui, yang dimaksudkan dengan dukun di sini, ialah yang bahasa arabnya adalah kahin atau ‘arraf, yaitu orang yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib, apa yang akan terjadi, tempat barang hilang, pencuri barang, isi hati orang dan semacamnya, meskipun di masyarakat dikenal dengan sebutan kyai, orang pintar, orang tua atau lainnya. Mendatangi dukun seperti ini haram hukumnya. Barangsiapa mendatanginya dan bertanya sesuatu kepadanya, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa mendatangi ‘arraf, lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, tidak akan diterima darinya shalat 40 hari. [HR. Muslim, no. 2.230].
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa mendatangi (yakni menggauli/mengumpuli) wanita haidh atau mendatangi (yakni menggauli/mengumpuli) wanita pada duburnya atau mendatangi kahin (dukun), maka dia telah kafir kepada (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. [HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan lain-lain].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa bertanya kepada ‘arraf (dukun) dan semacamnya ada beberapa macam: [3]
Sekedar bertanya saja. Ini hukumnya haram, berdasarkan hadits diatas yang artinya, “Barangsiapa mendatangi ‘arraf lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, tidak akan diterima darinya shalat 40 hari. [HR Muslim, no. 2.230]. Penetapan sangsi (yaitu tidak akan diterima shalatnya 40 hari, Red) bagi si penanya menunjukkan keharamannya. Karena tidak ada sangsi, kecuali terhadap perkara yang diharamkan.
Bertanya kepada dukun, meyakininya dan menganggap (benar) perkataannya. Ini kekafiran, karena pembenarannya terhadap dukun tentang pengetahuan ghaib, berarti mendustakan terhadap Al Qur’an.
Bertanya kepada dukun untuk mengujinya, apakah dia orang yang benar atau pendusta, bukan untuk mengambil perkataannya. Maka ini tidak mengapa dan tidak termasuk (larangan) di dalam hadits (di atas). Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad untuk mengujinya. Bertanya kepada dukun untuk menampakkan kelemahan dan kedustaannya. Ini terkadang (hukumnya) wajib atau dituntut.
Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan masalah tanjim (perbintangan). Beliau menyatakan bahwa ilmu tanjim ada dua: [4].
Pertama : Ilmu At Ta’tsir (astrologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang bintang, dengan anggapan bahwa bintang-bintang itu memiliki pengaruh; termasuk ramalan zodiak bintang). Ini ada tiga:
1. Seseorang meyakini bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh, sebagai pelaku, dalam arti bahwa bintang-bintang itu yang menciptakan kejadian-kejadian dan keburukan-keburukan. Demikian ini termasuk kategori syirik akbar (syirik yang lebih besar, orangnya kafir atau murtad jika dia orang Islam). Karena, barangsiapa mengakui ada pencipta lain yang menyertai Allah (selain Dia), maka dia musyrik, yaitu melakukan perbuatan syirik yang besar. Sebab dia telah menjadikan makhluk yang ditundukkan (yaitu bintang), menjadi pencipta yang menundukkan.
2. Seseorang menjadikan bintang-bintang sebagai sebab, sehingga berdasarkan bintang-bintang itu, dia mengklaim mengetahui ilmu ghaib. Dia mengambil petunjuk dengan gerakan bintang-bintang, perpindahannya dan perubahannya, bahwa akan terjadi demikian dan demikian karena bintang anu telah menjadi demikian dan demikian. Seperti seseorang mengatakan “Orang ini kehidupannya akan celaka karena dia dilahirkan pada bulan ini dan itu”, “Orang ini kehidupannya akan bahagia karena dia dilahirkan pada bulan ini dan itu”. Orang yang berkata seperti ini telah menjadikan perbintangan sebagai sarana untuk mengklaim ilmu ghaib. Sedangkan klaim bahwa dia tahu ilmu ghaib merupakan kekufuran yang mengakibatkan keluar dari agama. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah." [An Naml : 65].
Maka barangsiapa mengaku telah mengetahui terhadap ilmu ghaib, berarti dia telah mendustakan Al Qur’an.
3. Seseorang meyakini bintang-bintang itu sebagai sebab terjadinya kebaikan dan keburukan. Maka ini syirik ash-ghar (syirik kecil, yang tidak mengkibatkan murtad dari Islam). Yaitu jika telah terjadi sesuatu, dia menisbatkan kepada bintang-bintang. Dan dia tidak menisbatkan kepada bintang-bintang kecuali setelah terjadinya.
Kedua : Ilmu At Tas-yir (astronomi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang bintang, yang dengan perjalanannya dijadikan petunjuk untuk mashlahat (kebaikan) agama, seperti arah kiblat, atau mashlahat dunia, seperti: arah, letak tempat, musim dan lainnya. Yang seperti ini hukumnya boleh.
Dari penjelasan ini, kita mengetahui bahaya ramalan zodiak (rasi bintang) atau perdukunan. Wallahu al Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At Tauhid, hlm. 30, karya Syaikh Shalih Al Fauzan, Penerbit Darul Qasim, Cet. 2, Th. 1421H/2000 M.
[2]. Lihat kitab At Tauhid, hlm. 31, karya Syaikh Shalih Al Fauzan, Penerbit Darul Qasim.
[3]. Diringkas dari Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid (2/49), karya Syaikh Al ‘Utsaimin, Penerbit Darul ‘Ashimah, Cet. 1, Th. 1415 H.
[4]. Lihat Al Qaulul Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid (2/102-103), karya Syaikh Al ‘Utsaimin, Penerbit Darul ‘Ashimah, Cet. 1, Th. 1415 H.
http://almanhaj.or.id
0 Post a Comment:
إرسال تعليق