BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Filariasis merupakan salah satu penyakit tertua yang paling melemahkan yang dikenal dunia. Terdapat lebih dari 200 spesies parasit filaria, namun hanya sedikit yang menginfeksi manusia. Dari berbagai parasit filaria yang dapat menginfeksi manusia , Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, merupakan penyebab infeksi yang paling sering dan menimbulkan gejala sisa yang patologis. Penyebaran penyakit filariasis dipelantarai oleh nyamuk sebagai vektor. Cacing dewasa filaria hidup pada pembuluh limfa, sedangkan mikrofilaria hidup di dalam darah (Mc Mahon dan Simonsen. 1996).
Wuchereria bancroftiterdapat secara terbatas pada beberapa daerah di Indonesia yaitu dari Sumatera sampai Irian Jaya. Wuchereria bancroftiyang terdapat di kota ( tipe urban) hanya terdapat di sekitar Jakarta dan Semarang, vektornya biasanya dari jenis Culex quinquefasciatus. Sedangkan yang terdapat di daerah perdesaan ( tipe rural) biasanya ditularkan oleh nyamuk dari jenis Anopheles sp. dan Aedes sp. Mikrofilarianya bersifat periodik nokturna. Penyakit yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti adalah wukereriasis/filariasis bancrofti.
Brugia malayihanya terdapat di perdesaan, penyebarannya cukup luas yaitu dari Sumatera sampai ke pulau Seram. Pada Brugia malayiterdapat 2 varian, yaitu Brugia malayiyang hidup pada manusia dan yang hidup pada manusia dan hewan, seperti kucing dan kera. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi adalah filariasis malayi. Pada umumnya vektor penularannya adalah nyamuk Anopheles barbirostris dan Mansonia. Periodisitas Brugia malayi adalah periodik nokturna, subperiodik nokturna atau non periodik.
Brugia timori hanya terdapat di Indonesia bagian timur, di pulau Timor, Flores, Alor, Rote dan beberapa kepulauan disekitarnya. Mikrofilarianya bersifat periodik nokturna dan vektor penularannya adalah Anopheles barbirostris. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia timori adalah filariasis timori.
Sampai saat ini jumlah kasus penyakit filariasis semakin banyak melanda Indonesia dengan tingkat endemis yang tinggi. Berdasarkan hasil survey (Rapid mapping) tahun 2006 dilaporkan jumlah kasus endemis sebanyak 6233 orang yang tersebar di 1553 desa, 231 Kabupaten, 26 Provinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya 3020 puskesmas (42%) dari 7221 puskesmas yang menyampaikan laporan (Depkes RI. 2006). Berdasarkan data dari Dinkes pada Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2006-2007 menunjukkan terdapat 140 kasus yang tersebar di 10 wilayah Kabupaten/Kotamadya dan yang tertinggi di Kabupaten Muna dengan jumlah kasus sebanyak 130 kasus.
Selain itu, kasus filariasis menyebabkan kerugian ekonomi yang utama bagi penderita dan keluarganya. Kerugian yang disebabkan filariasis baik dalam keadaan akut maupun kronis antara lain adalah hilangnya jam kerja penderita yang berakibat pada penurunan pendapatan keluarga maupun kecacatan yang akan membebani keluarga yang bersangkutan maupun masyarakat sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian Ascobat Gani dkk, kerugian ekonomi akibat filariasis, baik karena kehilangan jam kerja maupun biaya-biaya yang ditanggung selama pengobatan, besarnya adalah Rp 735.380,- perkasus pertahun atau setara dengan 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari biaya makan. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan kerugian sebesar Rp. 4,6 triliun per tahun.
Oleh karena kasus filariasis yang banyak melanda negara Indonesia dan menyebabkan berbagai kerugian bagi penderita dan keluarga, maka perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut mengenai penyakit filariasis ini, termasuk dalam siklus hidup, gejala klinik, diagnosa dan epidemiologi dari filariasis tersebut.
BATASAN MASALAH
Dalam penulisan makalah ini penulis hanya membahas tentang filariasis yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti, yang meliputi morfologi, siklus hidup, gejala klinik dan patologi, diagnosis dan epidemiologi.
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulis menulis makalah ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui cara penularan penyakit filariasis
2. Untuk mengetahui morfologi dan siklus hidup dari cacing dewasa dan mikrofilaria Wuchereria bancrofti yang dibutuhkan dalam mendiagnosis penyakit filariasis bancrofti
3. Untuk mengetahui cara mendiangnosis penyakit filariasis bancrofti
4. Untuk mengetahui Epidemiologi dari Wuchereria bancrofti
5. Untuk mengetahui cara pencegahan agar seseorang tidak terinfeksi penyakit filariasis
6. Untuk mengetahui tentang faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi penyakit filariasis
BAB II
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN
Filariasis bancrofti adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan saluran limfe yang disebabkan oleh parasit golongan nematoda yaitu Wuchereria bancrofti. Penularan penyakit filariasis bancrofti dapat terjadi melalui gigitan nyamuk Culex quinquefasciatus, Anopheles dan Aedes yang merupakan hospes pelantaranya . Patologi dan gejala klinis filariasis bancrofti dapat berupa limfadenitis dan limfangitis retrograd pada stadium akut, hidrokel, kilurian, dan Limfedema (elephantiasis) yang mengenai seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina dan payudara pada stadium kronis. Sebagian besar yang terjangkit filariasis ini ialah remaja dan dewasa . Hal ini disebabkan karena kebiasaan dan aktivitas keseharian mereka yang cenderung mendukung terkena filariasis, yaitu aktifitas pada malam hari dengan berbagai kegiatan tanpa memakai alat pelindung diri dari gigitan nyamuk sebagai vektor filariasis.
II. PENYEBARAN
Wuchereria bancroftitersebar di daerah yang beriklim tropis, umumnya daerah dataran rendah, terutama pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa, dan hutan. Secara umum filariasis bancrofti tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Wuchereria bancrofti dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe pedesaan (tipe rural) dan tipe perkotaan (tipe urban) berdasarkan vektor yang menularkan. Wuchereria bancroftitipe pedesaan ditularkan terutama oleh nyamuk Anopheles dan Aedes , sedangkan tipe perkotaan ditularkan terutama oleh nyamuk Culex quinquefasciatus
III. KLASIFIKASI ILMIAH
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Nematoda
Subclass : Secernentea (Phasmidia)
Ordo : Spiruridia
Superfamily : Filarioidea
Family : Filariidae
Genus : Wuchereria
Species : Wuchereria bancrofti
IV. MORFOLOGI
Cacing dewasa berbentuk halus seperti benang, mempunyai kutikula halus, dan ditemukan dalam kelenjar dan saluran limfe. Cacing jantan panjangnya kira-kira 40 mm dan diameternya 0,1mm. Cacing betina panjangnya 80-100mm dan diameternya 0,24-0,30mm. Guna melanjutkan siklus hidupnya, cacing dewasa betina menghasilkan mikrofilaria bersarung. Panjang mikrofilarianya berkisar dari 244 sampai 296 µm serta aktif bergerak dalam darah dan limfe. Mikrofilarianya bersarung dan inti badannya tidak sampai ujung ekor. Pulasan seperti Giemsa, Wright, atau hemaktosilin Delafield telah digunakan untuk membantu membedakan gambaran morfologi dalam menentukan spesies mikrofilaria. Mikrofilaria yang dipulas panjangnya 245-300 µm dengan lebar 7- 8 µm, ruang pada kepala (cephalic space) yaitu panjang = lebar, memiliki inti yang teratur, lekukan badan halus dengan sarung berwarna pucat.
Pada banyak daerah di Indonesia, mikrofilaria Wuchereria bancrofti termasuk dalam tipe periodik nokturna. Konsentrasi tertinggi mikrofilaria dalam peredaran darah yaitu pada malam hari umumnya diantara jam 10 malam sampai jam 2-4 pagi.
V. SIKLUS HIDUP
Hospes pelantara dari filaria, yaitu nyamuk mendapatkan infeksi dengan menelan mikrofilaria dalam darah yang diisapnya. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1) dalam waktu 3 hari. Dalam waktu kurang lebih seminggu larva ini bertukar kulit tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang disebut larva stadium II (L2). Pada hari ke 10-14 selanjutnya larva ini bertukar kulit sekali lagi tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III (L3) yang merupakan bentuk infektif dan dapat dijumpai di dalam selubung probosis nyamuk. Larva bermigrasi ke labela nyamuk dan masuk ke dalam kulit hospes definitive melalui luka tusukan ketika sedang mengisap darah.
Dalam tubuh hospes definitive (manusia),larva L3 menembus lapisan dermis menuju saluran limfe dan berkembang menjadi larva L4 dalam waktu 9-14 hari setelah infeksi. Larva L4 kemudian berkembang menjadi cacing dewasa di dalam kelenjar limfe dan melakukan kopulasi . Mikrofilaria akan dilepaskan oleh cacing betina yang gravid dan dapat dideteksi di sirkulasi perifer dalam 8 sampai 12 bulan setelah infeksi. Dari saluran limfe, mikrofilaria memasuki sistem vena lalu ke kapiler paru dan akhirnya memasuki sistem sirkulasi perifer.
VI. PATOLOGI DAN GEJALA KLINIK
Gejala klinik yang berhubungan dengan infeksi Wuchereria bancrofti bervariasi dari yang tidak menunjukan gejala sampai pasien dengan manifestasi klinik yang berat seperti elephantiasis dan hidrokel (Partono, 1987). Patologi dan Gejala klinis filariasis bancrofti dapat disebabkan oleh cacing dewasa maupun mikrofilaria. Namun, perubahan patologi yang utama terjadi akibat kerusakan pada sistem limfatik yang disebabkan oleh cacing dewasa dan bukan disebabkan oleh microfilaria. Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan, namun dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Patologi dan Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing dewasa dapat berupa limfadenitis dan limfangitis retrograd pada stadium akut, hidrokel, kilurian, dan Limfedema (elephantiasis) yang mengenai seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina dan payudara pada stadium kronis.
VII. DIAGNOSIS
Sekarang ini telah terdapat beberapa teknik diagnosis yang dikembangkan dan digunakan secara rutin untuk diagnosis filariasis bancrofti. Umumnya diagnosis diarahkan pada identifikasi mikrofilaria atau antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah, karena sulitnya menemukan cacing dewasa. Beberapa diagnosis yang digunakan untuk identifikasi filariasis bancrofti diantaranya adalah :
A. Pemeriksaan Makroskopis
yaitu dengan melihat dari gejala klinis yang disebabkan oleh cacing dewasa Wuchereria bancrofi. Salah satu gejala klinisnya berupa elephantiasis yang dapat mengenai seluruh lengan, pangkal paha sampai mata kaki serta dapat menyerang system kelamin, payudara dan vulva.
B. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopik dilakukan dengan tujuan untuk menemukan mikrofilaria, cacing dewasa ataupun untuk mendeteksi adanya antigen dan/atau antibodi pada kasus occult filariasis. Beberapa pemeriksaan mikroskopis yang digunakan untuk identifikasi filariasis bancrofti yaitu
Pemeriksaan mikrofilaria dalam darah
Pemeriksaan sediaan darah adalah pemeriksaan yang paling sering digunakan dalam mendiagnosa infeksi filariasis bancrofti. Pemeriksaan sediaan darah ini dilakukan untuk menemukan mikrofilaria dalam darah. Namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan, yaitu hanya dapat dilakukan pada malam hari (22.00 – 02.00), yang disebabkan mikrofilaria bancrofti memiliki periodisitas nokturna. Terdapat beberapa metode sediaan darah yang digunakan, diantaranya adalah :
a. Sediaan Hapus Darah Tebal
Yaitu darah kapiler diteteskan pada bagian tengah kaca obyek, kemudian darah disebarkan hingga menjadi sediaan darah berdiameter 2x3 cm serta biarkan kering diudara. Lalu darah dihemolisis dan dibiarkan mengering . Setelah kering darah di fiksasi dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 40x. Keuntungan pada pemeriksaan sediaan hapusan tebal, kita dapat mengetahui morfologi, serta spesies mikrofilaria.
b. Sediaan Hapus Segar
Yaitu darah kapiler diteteskan pada bagian tengah kaca obyek, lalu ditambahkan 1 tetes NaCl dan dihomogenkan. Sediaan kemudian ditutup dengan deckglass dan diperiksa dibawah mikroskop dengan lensa objektif 10 kali dan 40 kali untuk mengetahui spesiesnya. Adanya mikrofilaria ditandai dengan pergerakan cepat diantara sel darah merah. Keuntungan dari hapusan segar ini dapat diketahui spesies dan patogenitasnya. Patogenitasnya dapat diketahui dengan = tebal : 6-8 µm (kira-kira sama dengan diameter sel darah merah ) dan panjangnya : 250-300 µm (setengah lapang pandang)
c. Filtrasi membran
Yaitu 1 mL darah difilter dengan menggunakan membran yang mempunyai pori dengan ukuran 5 µm. Filter diletakkan diatas kaca obyek kemudian difiksasi dengan methanol selama 1 menit lalu diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 15 menit. Pemeriksaan dilakukan dibawah mikroskop 100x dan dihitung jumlah mikrofilarianya.
d. Tabung Kapiler
Yaitu tabung kapiler diisi dengan darah sitrat sebanyak ¾ tabung, lalu salah satu ujung tabung kapiler ditutup. Tabung dipusingkan dengan sentrifus mikrohematokrit selama 2 menit. Tabung kapiler dilekatkan diatas kaca obyek dengan menggunakan selotip, kemudian diperiksa dibawah mikroskop pada garis pemisah antara sel darah merah dan plasma menggunakan lensa objektif 10x. Mikrofilaria yang bergerak akan nampak di dasar kolom plasma, tepat dibawah lapisan sel darah putih.
e. Darah Vena
Yaitu darah sitrat sebanyak 4 mL dicampurkan ke dalam 10 mL larutan Formaldehida 2% lalu dihomogenkan. Darah disentrifus selama 5 menit lalu supernatannya dibuang. 1 tetes endapan ditempatkan pada kaca obyek dan disebarkan hingga menjadi hapusan tipis lalu biarkan hingga kering. Fiksasi dengan etanol dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 40x.
f. Cara Provokasi
Yaitu pasien diberikan minum 100 mg tablet dietilkarbamazin, ditunggu 30 - 60 menit, kemudian dilakukan pemeriksaan darah tepi. Tujuan adalah agar dapat melakukan pengambilan darah pada siang hari. Tes ini digunakan untuk merangsang mikrofilaria keluar ke dalam darah. Cara Provokasi ini memiliki keuntungan, yaitu dapat dilakukan pemeriksaan pada siang hari. Kerugiannya yaitu dapat menyebabkan perubahan dan kekeliruan periodisitas pada mikrofilaria
g. Teknik Knott
Yaitu darah sebanyak 1 mL dicampurkan dengan 10 mL larutan Formalidehida 2% dalam tabung pemusing, kemudian dihomogenkan. Lalu disentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 1.500 – 2.000 rpm. Supernatannya dibuang, 1 tetes endapan ditempatkan pada kaca obyek dan diperiksa langsung sebagai preparat basah dibawah mikroskop atau diwarnai dengan pewarnaan Giemsa untuk mendeteksi mikrofilaria
h. Deteksi parasit dengan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tehnik ini digunakan untuk mendeteksi DNA Wuchereria bancrofti. PCR mempunyai sensitivitas yang tinggi yang dapat mendeteksi infeksi paten pada semua individu yang terinfeksi, termasuk individu dengan infeksi tersembunyi (amikrofilaremia atau individu dengan antigen +). Kekurangannya adalah diperlukan penanganan yang sangat hati-hati untuk mencegah kontaminasi spesimen dan hasil positif palsu. Diperlukan juga tenaga dan laboratorium khusus selain biaya yang mahal.
2) Pemeriksaan untuk menemukan cacing dewasa
a. Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG)
Yaitu menggunakan USG pada skrotum dan kelenjar inguinal pasien, dan akan tampak gambaran cacing yang bergerak-gerak (filarial dancing worm). Pemeriksaan ini berguna terutama untuk evaluasi hasil pengobatan.
Selain dengan pemeriksaan tersebut dapat juga dilakukan dengan Xeno Diagnosis yaitu nyamuk yang steril digigitkan pada orang yang diduga menderita filariasis bancrofti, kemudian dilakukan pembedahan atau nyamuk-nyamuk tersebut dilumatkan untuk mencari mikrofilaria atau larva.
VIII. EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologis, dapat dikatakan bahwa filariasis melibatkan banyak faktor yang sangat kompleks yaitu cacing filaria Wuchereria bancrofti sebagai agen penyakit, manusia sebagai hospes definitif dan nyamuk dewasa sebagai vektor serta faktor lingkungan fisik, biologik, sosial ekonomi dan perilaku masyarakat.
Sebagian besar yang terjangkit filariasis ialah remaja dan dewasa . Hal ini disebabkan karena kebiasaan dan aktivitas keseharian mereka yang cenderung mendukung terkena filariasis, yaitu aktifitas pada malam hari dengan berbagai kegiatan tanpa memakai alat pelindung diri dari gigitan nyamuk sebagai vektor filariasis. Perlindungan diri dapat dilakukan dengan menggunakan jaket, celana panjang, obat nyamuk atau alat proteksi lainnya.
Terjadinya infeksi filariasis pada seseorang, sangat ditentukan oleh peluang seseorang untuk mengalami kontak (pemaparan) dengan vektor filariasis. Namun hal ini juga berkaitan dengan :
1) Umur
Umur sangat berhubungan dengan tingkat keterpaparan, risiko dan sifat resistensi terhadap suatu penyakit. Semakin tua umur seseorang maka semakin banyak keterpaparan yang ditemui dan semakin besar risiko terkena suatu penyakit. Selain itu semakin tua seseorang, maka resistensi terhadap suatu penyakit semakin menurun.
2) Jenis kelamin
Tingginya kejadian filariasis pada laki-laki berkaitan dengan kebiasaan atau pekerjaan rutin yang dilakukan, oleh karena laki-laki merupakan tulang punggung keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, sehingga memungkinkan keterpaparan yang tinggi dan kontak yang sering dengan vektor penular filariasis dibandingkan wanita.
3) Pekerjaan
Peluang tingginya seseorang terinfeksi filariasis yaitu seseorang yang bekerja didaerah persawahan, perhutanan dan tempat-tempat yang merupakan habitat nyamuk, seperti petani, pemburu, pencari rotan dan hasil hutan lainnya.
4) Pengetahuan
Masyarakat yang memiliki pengetahuan yang baik mengenai filariasis, tentu akan lebih waspada terhadap risiko terkena filariasis pada saat melakukan kegiatan atau aktivitas malam diluar maupun di dalam rumah terhadap gigitan nyamuk vektor filariasis.
5) Kondisi lingkungan fisik, biologis maupun sosial
Pengaruh faktor lingkungan baik fisik, biologi dan sosial sangat berperan terhadap distribusi dan frekuensi penyakit filariasis. Adanya iklim dan kondisi geografis yang baik dapat membentuk habitat yang ideal, terlebih lagi potensi daerah endemis filariasis adalah daerah pertanian sehingga mendukung terbentuknya tempat-tempat perindukan vektor sebagai sumber penular. Selain itu juga disebabkan kondisi ekonomi keluarga yang kurang mampu sehingga tidak mampu untuk membeli obat pencegah nyamuk
6) Perilaku masyarakat
Perilaku masyarakat seperti sering keluar rumah pada malam hari tanpa menggunakan alat pelindung diri, dapat memperbesar peluang untuk tertular filariasis.
Beberapa cara pencegahan agar terhindar dari penyakit filariasis yaitu :
1) Pemakaian alat pelindung diri, yaitu dengan menggunakan jaket, celana panjang, obat nyamuk atau alat proteksi lainnya saat melakukan aktifitas pada malam hari.
2) Menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk untuk melindungi diri terhadap gigitan nyamuk sehingga terhindar dari risiko tertular filariasis.
3) Penggunaan kelambu pada saat tidur, dengan tujuan untuk proteksi diri dari risiko tertular filariasis.
4) Melakukan tindakan pemutusan rantai penularan kegiatan insektisida dan larvasida.
5) Dilakukan penyuluhan kepada masyarakat dengan tujuan agar pengetahuan masyarakat tentang filariasis meningkat sehingga masyarakat mau perpartisipasi dalam kegiatan pengobatan masal
6) Membersihkan pekarangan dan lingkungan disekitar rumahMencegah berkembangnya nyamuk sebagai vektor dari filariasis, dengan cara menguras penampungan air yang menjadi tempat berkembangnya nyamuk.
7) Dilakukkan pengobatan missal pada daerah yang endemic filariasis
Dengan malakukan hal-hal tersebut maka kita telah berusaha merungangi risiko terjangkitnya penyakit filariasis maupun penyakit lain yang juga bisa ditularkan oleh nyamuk.
Beberapa kendala dalam proses pencegahan dan pengobatan filariasis yaitu :
1) Adanya penolakan pada pengobatan filariasis, terkait dengan kasus meninggalnya seorang warga Kabupaten Bandung sehari setelah mengonsumsi obat filariasis. Masyarakat takut kasus Bandung akan terjadi kepada mereka, sehingga masyarakat menolak untuk diberikan pengobatan filariasis.
2) Kurangnya kesadaran masyarakat untuk minum obat atau kurangnya pengawasan dari petugas kesehatan setempat sehingga banyak masyarakat yang tidak mau minum obat dikarenakan merasa tidak sakit.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Filariasis bancrofti adalah penyakit yang mengenai kelenjar dan saluran limfe yang disebabkan oleh parasit golongan nematoda yaitu Wuchereria bancrofti. Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui gigitan nyamuk merupakan hospes pelantaranya. Wuchereria bancrofti dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe pedesaan (tipe rural) dan tipe perkotaan (tipe urban) berdasarkan vektor yang menularkan. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan ditularkan terutama oleh nyamuk Anopheles dan Aedes , sedangkan tipe perkotaan ditularkan terutama oleh nyamuk Culex quinquefasciatus. Patologi dan gejala klinis filariasis bancrofti dapat berupa limfadenitis dan limfangitis retrograd pada stadium akut, hidrokel, kilurian, dan Limfedema (elephantiasis) yang mengenai seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina dan payudara pada stadium kronis. Diagnosis filariasis bancrofti dapat dilakukan dengan menemukan mikrofilaria, cacing dewasa ataupun untuk mendeteksi adanya antigen dan/atau antibodi pada kasus occult filariasis. Umumnya diagnosis diarahkan pada identifikasi mikrofilaria atau antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah,dikarenakan sulitnya menemukan cacing dewasa. Sebagian besar yang terjangkit filariasis ini ialah remaja dan dewasa . Hal ini disebabkan karena kebiasaan dan aktivitas keseharian mereka yang cenderung mendukung terkena filariasis, yaitu aktifitas pada malam hari dengan berbagai kegiatan tanpa memakai alat pelindung diri dari gigitan nyamuk sebagai vektor filariasis.
SARAN
1. Perlu dilakukan penyuluhan tentang upaya pencegahan penyakit filariasis kepada masyarakat secara berkesinambungan untuk menghindari tingginya kasus filariasis dikalangan masyarakat yang menyebabkan kerugian ekonomi yang utama bagi penderita dan keluarganya.
2. Perlunya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kebersihan lingkungan melalui penyuluhan pada uni-unit kerja seperti puskesmas, posyandu atau organisasi sosial.
3. Dilakukan pengobatan massal pada daerah yang endemik filariasis perlu ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ekowatiningsih Ryanti dkk. 2009. Buletin Penelitian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan DEPKE RI, Jakarta.
Banudi. 2009. Jurnal Penelitian ”Health Information”, Politeknik Kesehatan Kendari: kendari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11DiagnosisdanPengobatanFilariasis.pdf/11_DiagnosisdanPengobatanFilariasis.pdf
Departemen Kesehatan RI. 1988. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Penyakit Kaki Gajah di Puskesmas.
http://www.cdc.gov/
Prasetyo Heru,1996. Pengantar Praktikum Helmintologi Kedokteran,Airlangga University Press: Surabaya
Pelatihan guru SMAK se-Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Surabaya
http://www.dpd.cdc.gov/
Soejoto dkk, 1989. Penuntun Praktikum Parasitologi Medik, Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Surabaya
Santoso. 2008, Buletin Penelitian Kesehatan vol.36 no.2, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta
Lynne S. Garcia dkk. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran, EGC: Jakarta
0 Post a Comment:
إرسال تعليق